Selasa, 30 Desember 2008

Rapor Olahraga Tahun Ini

Sulit untuk memulai memberi nilai pada olahraga Indonesia di tahun 2008. Karena olahraga di Indonesia pada tahun 2008 memiliki dinamikanya tersendiri. Rapor Indonesia di bidang olahraga pada tahun 2008 tampaknya masih berwarna-warni, yaitu hitam dan merah.
Bila menengok ke ajang pesta olahraga dunia, Olimpiade 2008, tampaknya tinta merah layak digoreskan. Penilaian tersebut bersandarkan pada Olimpiade 1992 yang diadakan di Barcelona. Pada tahun 1992, Indonesia berhasil meraih dua emas, sedangkan pada tahun 2008, Indonesia hanya berhasil meraih satu emas. Ini merupakan sebuah kemerosotan yang patut disayangkan. Meski begitu, raihan satu emas di Olimpiade Beijing 2008 diraih lewat cabang bulutangkis. Mengalami kemerosotan memang, namun cabang bulutangkis berhasil mempertahankan tradisi emas Olimpiade. Ini merupakan kebanggaan tersendiri.
Dari cabang tinju, Indonesia patut berbangga hati. Untuk kesepuluh kalinya, Chris John berhasil mempertahankan juara dunia versi WBA. Namun disamping prestasi membanggakan itu, ada satu hal yang sangat disayangkan. Regenerasi di bidang tinju tidak secemerlang prestasi Chris John. Gelanggang tinju amatir tampaknya sulit untuk mencetak “Cris John” baru.
Rapor merah tampaknya masih layak diberikan pada persepakbolaan nasional. Keributan dibeberapa laga masih menjadi catatan kelam yang dominan. Pemain impor yang diharapkan mampu menjadi contoh bagi pemain lokal juga belum mampu memberikan hasil yang positif. Bahkan, terkadang pemain imporlah yang menjadi akar keributan. Hal itu ditutup oleh prestasi buruk timnas. Berangkat dengan harapan juara, timnas dipaksa pulang oleh Thailand di semifinal.
Lalu, bagaimana dengan hasil spektakuler Indonesia di Asian Beach Games di Bali? Event ini memang terbilang cukup besar, tapi menurut saya ini hanyalah olahraga hiburan, semacam sportainment. Tak ada dampak apa-apa bagi kemajuan olahraga Indonesia.

Senin, 22 Desember 2008

Kritik Jenaka ala The Simpsons

Televisi sering dianggap sebagai media yang paling berpengaruh saat ini. Hal ini disebabkan karena televisi merupakan media yang paling sering dikonsumsi oleh manusia dalam pemenuhan kebutuhannya akan informasi. Oleh karena itu, munculah aneka ragam bentuk acara dalam penyampaian informasi, seperti dokumenter, berita, film, dan lain-lain. Salah satunya yaitu film kartun.
Film kartun sering dianggap sebagai tontonan anak kecil. Hal itu disebabkan oleh, karakter-karakter dalam film kartun yang biasanya cenderung lucu, aneh, dan dan sangat dekat dengan dunia khayal anak-anak. Namun, dalam perkembangannya film kartun sudah jauh berbeda dari yang dulu. Banyak dari film kartun modern lebih menonjolkan kebaikan melawan kejahatan yang dikemas melalui genre action yang lebih sering menonjolkan kekerasan, baik fisik maupun nonfisik atau kekerasan psokologi. Segmentasi film kartun pun menjadi lebih variatif, dari anak-anak sampai dewasa. Jumlah film kartun dewasa pun tidak sedikit. Film kartun dewasa ini pun mampu meraup kesuksesan yang luar biasa, seperti Beavers & Butthead, Happy Tree Friends, atau The Simpsons.
Munculnya film kartun dewasa, khususnya The Simpsons, pun menuai pro dan kontra. Film kartun The Simpsons yang memiliki karakter yang identik dengan anak kecil dikemas secara dewasa dapat mengecoh anak kecil. Namun, dalam perkembangannya serial kartun The Simpsons dapat tayang dan mendapat content dewasa.
Kekerasan dalam serial kartun The Simpsons sebenarnya bukanlah kekerasan secara fisik, mekipun dalam beberapa adegan memuat kekerasan fisik. The Simpsons lebih banyak memuat kekerasan secara psokologis. Ucapan-ucapan yang keluar dari tokoh-tokoh dalam film tersebut terdengar sangat kasar dan liar.
Jika kita cermati, kartun The Simpsons sebenarnya memiliki sisi yang menarik. Tema-tema yang disuguhkan sebenarnya memiliki pesan-pesan sosial atau bahkan kritik-kritik politik. Tidak jarang adegan-adegan dalam film tersebut mengeritik pemerintahan Amerika. Kritik-kritik tersebut dikemas secara komedi yang terkesan liar dan jenaka. Kritik yang dibungkus secara menarik inilah yang menjadi daya tarik serial kartun yang menampilkan duplikat negara Amerika Serikat (AS).
Serial kartun The Simpsons membungkus kritik-kritik sosial dan politik secara apik dan dapat mengocok perut. Hal itulah yang menjadi salah satu daya tarik dari kartun dewasa yang pernah mendapat bintang dalam Hollywood Walk of Fame. Memang sebaiknya dalam suatu acara yang menampilkan kritikan-kritikan, kritikan tersebut dibungkus secara ringan, menarik, dan jenaka, dengan begitu orang yang menjadi sasaran tidak akan merasa dirugikan dan pesan yang akan disampaikan akan menjadi lebih mudah dicerna.

Feminisme Dalam Novel "OUT"

Natsuo Kirino adalah seorang penulis kisah misteri dengan bakat yang langka, yang karya-karyanya berbeda dari genre kriminal yang biasanya. Melalui novel Out ini, ia memasukan aroma feminisme dalam meramu jalan cerita dan konflik-konflik yang ia ciptakan menunjukan kekuatan seorang perempuan. Novel ini bercerita tentang kisah persahabatan empat orang ibu-ibu dalam menghadapi kerasnya dunia. Novel ini juga menggambarkan bagaimana tertindasnya seorang perempuan lewat berbagai konflik, seperti peyiksaan seorang suami terhadap istrinya, suami yang kabur dari rumah setelah mengambil seluruh tabungan dan meninggalkan banyak hutang, pemerkosaan-pemerkosaan, dan masih banyak lagi konflik yang lain. Selain itu, novel ini juga menggambarkan kekuatan seorang perempuan, seperti seorang istri harus banting tulang untuk mengurus mertuanya yang lumpuh dan menghidupi seorang anak, perjuangan seorang perempuan melawan yakuza yang kejam, dan lain-lain.
Dalam novel ini sangat jelas terasa bahwa kaum laki-laki adalah dominan, sedangkan kaum perempuan sebagai kaum subordinan. Novel ini menggambarkan beberapa tindakan laki-laki yang secara implisit menggambarkan bahwa perempuan memang pantas ditindas karena mereka lemah. Hampir semua konflik dalam novel ini merupakan pembedaan gender. Beberapa tokoh antagonis dalam novel ini secara implisit digambarkan sangat menganggap bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki.
Perjuangan tokoh utama, yang dalam novel ini seorang perempuan, untuk dapat mengatasi kehidupan mereka yang terpuruk akibat ulah dari para laki-laki sangat mengesankan. Natsuo Kirino mengemas novel “pertarungan” antara laki-laki dengan perempuan secara elegan. Dia membuat keangkuhan laki-laki yang terus menindas perempuan. Kemudian, perempuan pun tidak kalah kuat, para tokoh utama, yang dalam novel ini adalah perempuan, selalu berhasil mengalahkan kekuatan dari laki-laki. Natsuo Kirino berhasil menyuarakan feminismenya lewat novel ini, karena konflik-konflik yang ada selalu saja dapat diatasi oleh perempuan. Image perempuan yang lemah seperti dihapus oleh Natsuo Kirino lewat novel ini. Kaum perempuan dalam novel ini memiliki kekuatan yang seimbang dengan kaum laki-laki. Natsuo Kirino menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki.
Menurut teori kritis, kehidupan sosial ini selalu ada yang lebih mendominasi, dan para tokoh teori kritis berusaha untuk menghapus tingkatan sosial ini, sehingga tidak ada lagi yang menguasai dan yang dikuasai. Kaum feminisme melihat laki-laki dan perempuan bukan secara horisontal, melainkan secara vertikal. Feminis menganggap kaum laki-laki menindas kaum perempuan secara tidak langsung. Para feminis berusaha menghapus “aturan main” yang telah dibuat laki-laki, jadi perempuan dan laki-laki mendapatkan posisi yang seimbang. Bahkan, feminis radikal menganggap bahwa kaum laki-laki adalah “musuh” dan harus diperangi.
Melalui kacamata teori kritis, novel yang beraroma feminisme ini berusaha menghilangkan dominasi laki-laki dan menaikan derajat perempuan yang selalu menjadi objek penderita. Perempuan selalu saja berada di pihak yang kurang menguntungkan, oleh karena itu si penulis berusaha menghapus semua itu lewat karakter dalam novel yang bernama Masako, Yayoi, Kuniko, dan Yoshi. Keteguhan dan keperkasaan perempuan tergambar kuat dalam keempat karakter tersebut. Bahkan, keperkasaan perempuan tergambar jelas di ending novel tersebut.